Tujuan disyariatkannya jilbab bagi perempuan adalah untuk menutupi
perhiasan dan kecantikan mereka ketika mereka berada di luar rumah atau
di hadapan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya.
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, wanita yang keluar rumah
memakai pakaian atau jilbab yang dihiasi dengan bordiran, renda, ukiran,
motif dan yang sejenisnya, ini jelas merupakan bentuk
tabarruj, karena pakaian/jilbab ini menampakkan perhiasan dan keindahan yang seharusnya disembunyikan.
Maka meskipun pakaian atau jilbab tersebut dari bahan kain yang
longgar dan tidak tipis, akan tetapi kalau dihiasi dengan hiasan-hiasan
yang menarik perhatian atau dengan model yang justru semakin memperindah
penampilan wanita yang mengenakannya maka ini jelas termasuk
tabarruj.
Kemudian kalau kita tanyakan kepada wanita yang menambahkan bordiran,
renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya pada pakaian luarnya, apa
tujuannya?, maka tentu dia akan menjawab: supaya indah, untuk hiasan,
supaya keren, dan kalimat lain yang senada.
Maka dengan ini jelas bahwa tujuan ditambahkannya bordiran, renda,
ukiran dan motif pada pakaian wanita adalah untuk hiasan dan keindahan,
sedangkan syariat Islam memerintahkan bagi para wanita untuk menutupi
dan tidak memperlihatkan perhiasan dan keindahan mereka kepada selain
mahram atau suami mereka.
Bahkan kalau kita merujuk pada pengertian bahasa, kita dapati dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) bahwa motif/ renda/ bordir
juga disebut sebagai hiasan.
Pakaian dan jilbab seperti ini telah disebutkan oleh para ulama sejak
dahulu sampai sekarang, disertai dengan peringatan keras akan
keharamannya.
Imam adz-Dzahabi berkata[1]: “Termasuk perbuatan (buruk) yang menjadikn wanita dilaknat (dijauhkan dari rahmat Allah ) yaitu
memperlihatkan
perhiasan, emas dan mutiara (yang dipakainya) di balik penutup
wajahnya, memakai wangi-wangian dengan kesturi atau parfum ketika keluar
(rumah), memakai pakaian yang diberi celupan warna (yang menyolok),
kain sutra dan pakaian pendek, disertai dengan memanjangkan pakaian
luar, melebarkan dan memanjangkan lengan baju, serta hiasan-hiasan
lainnya ketika keluar (rumah). Semua ini termasuk
tabarruj
yang dibenci oleh Allah dan pelakunya dimurkai oleh-Nya di dunia dan
akhirat. Oleh karena perbuatan inilah, yang telah banyak dilakukan oleh
para wanita, sehingga Rasululah bersabda tentang mereka: “Aku melihat
Neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita”[2].
Perhatikan ucapan imam adz-Dzahabi ini, bagaimana beliau menjadikan perbuatan
tabarruj yang dilakukan oleh banyak wanita adalah termasuk sebab yang menjadikan mayoritas mereka termasuk penghuni Neraka[3],
na’uudzu billahi min dzaalik.
Imam Abul Fadhl al-Alusi berkata: “Ketahuilah,
sesungguhnya ada sesuatu yang menurutku termasuk perhiasan wanita yang
dilarang untuk ditampakkan, yaitu perhiasan yang dipakai oleh kebanyakan
wanita yang terbiasa hidup mewah di jaman kami di atas pakaian luar
mereka dan mereka jadikan sebagai hijab waktu mereka keluar rumah. Yaitu
kain penutup tenunan dari
(kain) sutra yang berwarna-warni, memiliki ukiran (bordiran/sulaman
berwarna) emas dan perak yang menyilaukan mata. Aku memandang
bahwa para suami dan wali yang membiarkan istri-istri mereka keluar
rumah dengan perhiasan tersebut, sehinga mereka berjalan di kumpulan
kaum laki-laki yang bukan mahram mereka dengan perhiasan tersebut, ini
termasuk (hal yang menunjukkan) lemahnya kecemburuan (dalam diri para
suami dan wali mereka), dan sungguh kerusakan ini telah tersebar
merata”[4].
Fatwa lajnah daimah (kumpulan ulama besar ahli
fatwa) di Arab Saudi, yang diketuai oleh syaikh ‘Abdl ‘Azizi Alu
asy-Syaikh, beranggotakan: syaikh Shaleh al-Fauzan, syaikh Bakr Abu Zaid
dan syaikh Abdullah bin Gudayyan. Fatwa no. 21352, tertanggal 9/3/1421
H, isinya sebagai berikut: “’
Abayah (baju kurung/baju luar)
yang disyariatkan bagi wanita adalah jilbab yang terpenuhi padanya
tujuan syariat Islam (dalam mentapkan pakaian bagi wanita), yaitu
menutupi (perhiasan dan kecantikan wanita) dengan sempurna dan
menjauhkan (wanita) dari fitnah. Atas dasar ini, maka ‘
abayah wanita harus terpenuhi padanya sifat-sifat (syarat-syarat) berikut: …
Yang ke empat: ‘
abayah tersebut tidak diberi hiasan-hiasan yang menarik perhatian. Oleh karena itu, ‘
abayah tersebut harus polos dari
gambar-gambar, hiasan (pernik-pernik), tulisan-tulisan (bordiran/sulaman) maupun simbol-simbol”[5].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin pernah diajukan kepada beliau pertanyaan berikut:
“Akhir-akhir ini muncul di kalangan wanita (model)
‘abayah
(pakaian luar/baju kurung) yang lengannya sempit dan di sekelilingnya
(dihiasi) bordir-bordir atau hiasan lainnya. Ada juga sebagian
‘abayah wanita yang bagian ujung lengannya sangat tipis, bagaimanakah nasihat Syaikh terhadap permasalahan in?”
Jawaban beliau:
“Kita mempunyai kaidah penting (dalam hal ini), yaitu (hukum asal)
dalam pakaian, makanan, minuman dan (semua hal yang berhubungan dengan)
mu’amalah adalah mubah/boleh dan halal. Siapapun tidak boleh mengharamkannya kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Maka jika kaidah ini telah kita pahami, dan ini sesuai dengan dalil dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Allah berfirman:
{هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً}
“
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian” (QS al-Baqarah: 29).
Dan Firman-Nya:
{قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ}
“
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat” (QS al-A’raaf: 32).
Maka segala sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dalam
perkara-perkara ini berarti itu halal. Inilah (hukum) asal (dalam
masalah ini), kecuali jika ada dalil dalam syariat yang mengharamkannya,
seperti haramnya memakai emas dan sutra bagi laki-laki, selain dalam
hal yang dikecualikan, haramnya
isbal (menjulurkan kain melewati mata kaki) pada sarung, celana, gamis dan pakaian luar bagi laki-laki, dan lain-lain.
Maka apabila kita terapkan kaidah ini untuk masalah ini, yaitu (hukum memakai) ‘
abayah
(model) baru ini, maka kami katakan: bahwa (hukum) asal pakaian
(wanita) adalah dibolehkan, akan tetapi jika pakaian tersebut menarik
perhatian atau (mengundang) fitnah, karena terdapat
hiasan-hiasan
bordir yang menarik perhatian (bagi yang melihatnya), maka kami
melarangnya, bukan karena pakaian itu sendiri, tetapi karena pakaian itu
menimbulkan fitnah”[6].
Di tempat lain beliau berkata: “Memakai ‘
abayah (baju kurung) yang dibordir dianggap termasuk
tabarruj (menampakkan) perhiasan dan ini dilarang bagi wanita, sebagaimana firman Allah :
{وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لا يَرْجُونَ
نِكَاحاً فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ
مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ}
“
Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), maka tidak ada dosa atas
mereka untuk menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud)
menampakkan perhiasan” (QS an-Nuur: 60).
Kalau penjelasan dalam ayat ini berlaku untuk perempuan-perempuan tua maka terlebih lagi bagi perempuan yang masih muda”[7].
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Yang jelas merupakan pakaian wanita yang menjadi perhiasan baginya adalah pakaian yang
dibuat
dari bahan yang berwarna-warni atau berukiran (bordiran/sulaman
berwarna) emas dan perak yang menarik perhatian dan menyilaukan mata”[8].
Kemudian, perlu juga kami ingatkan di sini, bahwa berdasarkan keterangan di atas, maka
termasuk tabarruj
yang diharamkan bagi wanita adalah membawa atau memakai beberapa
perlengkapan wanita, seperti tas, dompet, sepatu, sendal, kaos kaki, dan
lain-lain, jika perlengkapan tersebut memiliki bentuk, motif atau
hiasan yang menarik perhatian, sehingga itu termasuk perhiasan wanita
yang wajib untuk disembunyikan.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Memakai sepatu yang
(berhak) tinggi (bagi wanita) tidak diperbolehkan, jika itu di luar
kebiasaan (kaum wanita), membawa kepada perbuatan
tabarruj,
nampaknya (perhiasan) wanita dan membuatnya menarik perhatian (laki-laki), karena Allah berfirman:
{وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى}
“
Dan janganlah kalian (para wanita) bertabarruj (sering keluar
rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan)
wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” (QS al-Ahzaab:33).
Maka segala sesuatu yang membawa wanita kepada perbuatan
tabarruj,
nampaknya (perhiasan)nya dan tampil bedanya seorang wanita dari para wanita lainnya dalam hal mempercantik (diri), maka ini diharamkan dan tidak boleh bagi wanita”[9].
***
Catatan kaki
[1] Kitab “
al-Kaba-ir” (hal. 134)
[2] HSR al-Bukhari (no. 3069) dan Muslim (no. 2737)
[3] Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “
Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 232)
[4] Kitab “
Ruuhul ma’aani” (18/146)
[5]
Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141)
[6]
Liqa-aatil baabil maftuuh (46/17)
[7] Kitab
“Majmu’ul fataawa war rasa-il” (12/232).
[8] Kitab “
Shahiihu fiqhis sunnah” (3/34).
[9]
Majmuu’atul as-ilatin tahummul usratal muslimah (hal. 10)
___
Di-
copas dari tulisan Ustadz Abdullah Taslim Lc., MA. yang berjudul “
Tabarruj, dandanan ala jahiliyah wanita modern” di website pribadi beliau.